Semua Orang Butuh Permisi
Malam ini untuk kesekian
kalinya aku ditegur oleh seseorang karena tidak permisi. Kalau tidak salah
ketiga kalinya. Sekali saja sudah cukup menampar seharusnya. Tapi untuk makhluk
keras kepala sepertiku harus tiga kali. Kalau saja setelah ini bisa berubah.
Kalau tidak, ya semoga saja tidak ditampar sungguhan.
Di gang sempit itu, dari
beberapa meter sebelum melewati seorang ibu paruh baya dengan tasbih di jemarinya.
Sorot matanya menuju ke kami, aku melihat itu. Lumayan tajam tatapannya pada
kami, jauh sebelum kami lewat. Mungkin itu kode, supaya aku dan temanku permisi.
Selain itu, beliau berdiri tepat di tengah jalan. Sayangnya, kami tidak peka. Sama
sekali. Begitu kami mendekat, ibu itu menepi. Lewat beberapa langkah kami
berlalu, beliau memanggil. “Dek dek.. “. Kami berhenti. “Kalau lewat sini permisi
ya. Ini kan bukan jalan umum”, kami tertegun. “Iya bu, maaf ya..”. Kemudian
kami cepat berlalu.
Beliau tidak marah. Bicaranya juga
sopan sekali, seolah dua anak kurang ajar di hadapannya masih cukup wajar. Kami
pun hanya meminta maaf, dia sudah lega sekali. Entah dia berpikir kami ikhlas
atau tidak. Nyatanya itu tidak penting lagi sekarang. Ikhlas atau tidak, tulus
atau tidak, dari hati atau tidak, hormat sungguhan atau sekedar gimmick, tetap
saja kita harus sopan.
Jujur saja, sedari dulu saya
selalu berpikir kalau orang kota lebih individual. Sudah lepas dari tata karma dan
kesopanan. Tidak butuh lagi sapaan, karena tetangga saja mereka tidak kenal.
Tapi saya lupa, ini Indonesia. Bahkan orang luar negeri mengagumi negeri ini
karena keramahtamahan dan senyum lebarnya. Entah bule itu datangnya di
Indonesia bagian kota besar, kota kecil, atau kampung. Berarti seindividualnya
orang Indonesia mereka akan tetap orang Indonesia dengan ciri khas
keramahtamahannya. Kalau begitu, kayaknya makhluk kayak saya ini gak pantes
lagi mengaku sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Semenjak di kota ini saya tidak
pernah menyapa. Siapapun yang saya lewati. Pantas saja, ibu warung di depan
kost lama melirik tajam kalau saya lewat.
Ada juga seorang di depan
gerbang kost saya sekarang yang kalau saya lewat dia saja, dia akan berceletuk,”ya
mangga, manga”. Ya, dia menyindir. Karena saya tidak berkata permisi sama
sekali. Dua kali lho dia bilang begitu. Selanjutnya, saya masih bolong-bolong
menyapa beliau. Mungkin beliau sudah lelah dan pasrah.
Setelah ojol berwarna hijau tua
itu menguasai wilayah Bogor. Di depan kostku jadi markas para drivernya. Sangat
menguntungkan kami yang akan order karena cepat mendapat driver. Mereka selalu
menatapku dari kejauhan saat akan berangkat atau pulang. Saya sendiri orang
yang sangat kikuk kalau harus ditatap pria. Para driver itu mungkin baru 20an.
Jadinya saya nunduk saja. Sesekali permisi kalau lagi mood. Mungkin mereka
mencemooh saya dari hati. Udah baperan, songong lagi yaa…
Pernah saya membaca artikel,
seorang wanita ditahan oleh aparat keamanan karena menipu. Penipuan yang
dilakukannya adalah berpura-pura buta. Bertahun-tahun wanita tersebut akting buta
karena malas menyapa orang. Dia terlalu malas berpura-pura baik di depan banyak
orang. Bukan saya terinspirasi dari wanita tersebut sehingga sekarang saya
ditegur banyak orang. Saya juga tidak setuju dengan pilihannya berpura-pura
buta. Kalau saya sih tidak masalah disapa atau tidak. Kenyataannya kan banyak
pihak yang merasa dirugikan dan sekarang dia harus bermasalah dengan hukum. Berurusan
dengan birokrasi saja merepotkan, apalagi hukum. Tapi melihat fenomena artikel
tersebut membuat saya berpikir bahwa memang kita bisa sepenunhnya menjadi diri
sendiri. Tetap saja, ada hal yang membuat kita menjadi orang lain. Namanya juga
makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Well, buat malam ini saya cukup
tertampar. Saya hanya berharap tidak lupa. Tapi juga tidak berharap untuk
mengingatkannya harus ditampar beneran.
Komentar
Posting Komentar