Mengganti Receh dengan Nasi Bungkus

Pernahkah kalian berpikir uang yang cepat habis padahal tidak membeli apapun? Tiba-tiba pengeluaran bulanan terasa membengkak hanya karena sekali dua kali makan diluar? Atau merasa tidak berguna padahal tidak buruk-buruk juga ekonominya? Apapun itu, masalah ekonomi memang sangat pelik dan sensitif. Terlebih bagi saya seorang mahasiswa perantauan. Dulu ingin sekali melakukan donasi sewaktu di kampung, karena di kampung masyarakatnya sudah makmur. Sewaktu di kota  masih juga tidak berdonasi, padahal banyak yang tidak makmur.  

Fenomena dhuafa kaya raya mengarahkan pada gerakan anti memberi receh pada kaum dhuafa di jalanan. Gerakan ini untuk membuat mereka mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sehingga dapat bekerja yang lebih halal dan tidak mengganggu kenyamanan khalayak umum. Gerakan baik bagi masyarakat dan para dhuafa itu sendiri. Sayangnya,  gerakan ini semakin menipiskan rasa empati. Tidak semua dhuafa adalah kaya raya. Namun, daripada pusing membedakan yang akting dan kenyataan, lebih baik pukul rata saja semua. Sayang juga receh dijatuhkan pada mereka yang kenyataannya lebih kaya daripada kita.Jadinya, tidak ada lagi donasi atau sedekah, tidak ada lagi tolong menolong, tidak ada lagi pahlawan. Bahkan yang pahlawan selalu disudutkan sok pahlawan . Hidup ini adalah tanggung jawab masing-masing individunya. Ya, jelas. Tapi bukankah kita makhluk sosial yang sudah kodratnya menolong makhluk lain yang lemah? Bukannya Tuhan juga berfirman agar kita memiliki dompet dhuafa (menyisihkan rezeki bagi orang yang lebih membutuhkan, karena rezeki yang didapat tidak semuanya milik kita )?

Perintah dari Sang Khalik untuk menjadi manusia yang bermanfaat selalu mengusik saya. Namanya juga manusia yang selalu sombong padahal belum melakukan apa-apa. Ya jadilah saya yang biasa-biasa  saja merasa sudah memberi manfaat padahal belum bermanfaat sama sekali. Pikir saya, keuangan saya saja masih sering defisit. Masih membutuhkan banyak dana untuk menyeimbangkan neraca, lalu mengapa harus saya yang membantu? Masih banyak kok orang berduit. Tidak usahlah mengorbankan keuangan saya yang sudah nelangsa ini. Kalau melihat ke atas pasti begitu. Selalu ada orang lain yang lebih lebih dari kita yang seharusnya bisa menolong. Tapi kalau melihat ke bawah, kita berada jauh jauh di atas mereka yang membutuhkan sedikit empati.

Bukannya saya tidak mendukung gerakan No Receh. Akan tetapi, bagaimana kalau receh tersebut kita alihkan ke makanan? Bersedekah tidak harus uang bukan? Bahkan senyum juga sedekah. Entah mereka dhuafa kaya raya atau sungguhan dhuafa, tidak ada yang salah dari memberi makanan pada orang lain. Selain itu bentuk empati, makanan juga tidak memanjakan para dhuafa jalanan. 

Ide memberikan makanan sudah saya lakukan hampir dua bulan terakhir. Ini adalah projek saya dan seorang teman saya. Dia mengajak saya untuk memberikan sepuluh bungkus nasi pada para dhuafa di jalanan setiap hari selasa. Walaupun seterusnya tidak sepuluh  karena menyesuaikan uang. Kegiatan ini berawal  tanggal 6 November 2017, bermodalkan uang Rp 70.000 hasil patungan berdua. Sepuluh bungkus nasi berhasil kami bagikan pada pemulung tua, anak jalanan, penjual tisue, pengemis, dan tukang becak. Pengalaman pertama saya bersedekah sebanyak itu. Mengapa saya katakan banyak?  Karena berbeda sekali rasanya memberikan langsung dengan hanya menyetor nominal tertentu. Ada kepuasan tersendiri melihat senyum bahagia mereka. Uang Rp 35.000 tidak akan terasa sebesar jika hanya saya bawa ke bioskop. Bahkan kurang jika di akhir pekan. 

Projek nasi bungkus terus berlanjut sekalipun hanya lima bungkus yang dapat kami berikan. Kadang kami juga berganti hari karena hari selasa banyak kendala. Pernah kami merasa ditipu oleh beberapa dhuafa yang tidur di emperan ruko. Mereka mengatakan tujuh orang padahal kami sudah menghitung tidak sampai lima. Ada yang mengatakan lainnya sedang solat. Tapi yang membuat saya terkejut, salah satunya merokok. Jujur saya tidak suka. Saya berharap nasi bungkus saya jatuh pada mereka yang benar-benar membutuhkan nasi, tapi mereka sudah mampu membeli rokok yang lebih mahal dari nasi. Okelah, tadi saya mengatakan nasi bisa diberikan pada siapa saja. Akan tetapi, setelah pergi dari kumpulan orang-orang tadi saya menemukan orang gila mengorek-orek sampah. Alangkah menyesalnya saya. Oke, cukup sekali itu saja. 

Beberapa kali mengelilingi kota untuk membagikan nasi bungkus membuat saya punya peta persebaran dhuafa. Pengalaman kami pun membawa kami pada keputusan mensegmentasi target. Ya, kami memilih pemulung tua, dan orang gila. Mengapa? Orang-orang tua seperti mereka seharusnya berdiam diri di rumah menikmati masa tua. Sayangnya mereka harus mengumpulkan sampah demi menghidupi jasad yang sudah renta. Sedangkan orang gila, karena mereka masih manusia yang harus dimanusiakan. Sering saya bertanya-tanya darimana orang gila makan? Lalu suatu hari saya melihat ada orang gila di atas pagar demi meraih nasi dari bak mobil pengangkut sampah. Tadinya, kami takut memberikan nasi pada orang gila karena image orang gila yang suka mengejar. Ternyata tidak setelah kami paksa keberanian. Mereka justru tersenyum ramah menyambut kami. Seolah mereka tahu mana yang sedang berniat baik sehingga mereka sangat kooperatif. Foto di bawah ini juga hasil dari kekooperatifan sang model. Saya hanya bermodal sedikit waktu untuk menanggapinya obrolannya yang ngalor ngidul.


Tiga paragraf di atas hanya sedikit kisah saya dan teman saya dalam bersedekah. Bisa dibilang aksi Hero Zaman Now . Setelah dijalani tidak berat ternyata menyesihkan uang sekitar Rp 35.000 tiap minggunya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Jika seminggu Rp 35.000, maka sehari Rp 5.000 . Uang yang mungkin tidak terasa kalau tercuci tapi begitu bermakna bagi sebagian orang diluar sana. Tapi Rp 5.000 juga terlalu besar untuk diberikan pada pengemis. Saya rasa membagikan nasi bungkus adalah solusi yang cukup baik dalam bersedekah bagi keuangan kita dan kebahagiaan beberapa orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayo Bicara Agama

Semua Orang Butuh Permisi

Si Bisu yang Tidak Tunarungu dan Si Buta yang Tidak Tunanetra