Si Bisu yang Tidak Tunarungu dan Si Buta yang Tidak Tunanetra

Si bisu yang tidak tunarungu?
dan
Si buta yang tidak tunanetra?

Aku menemukan kedua kalimat ini setelah ditegur satpam fakultas sebelah. Kesalahan yang aku buat karena mencoba melanggar peraturan lalu lintas. Bukan tegurannya yang membuatku marah sampai menemukan kedua kalimat diatas. Tapi satu ancaman yang membuatku merasa menjadi Si Bisu yang Tidak Tunarungu, dan Si Buta yang Tidak Tunanetra.

Tidak perlu kujelaskan apa ancamannya. Aku yakin semua orang yang pernah merasakan pendidikan di kampusku, fakultasku, tahu yang kumaksud. Ancaman yang membuat kami semua menjadi Si Bisu dan Si Buta. Bahkan nyaris lumpuh. Apa bedanya dengan mereka yang sungguhan bisu, buta, dan lumpuh? Benar yang dikatakan Dee dalam Supernova-nya. Aku lupa persis kata-katanya. Intinya yang kudapat, "semua yang ada di dunia ini hanya ilusi. Tidak sungguhan nyata." 

Kukira aku sudah sangat sempurna dengan fisik ini. Dapat melakukan apapun yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki. Tapi itu hanya ilusi. Banyak, terlalu banyak orang bisu yang dapat berbicara. Melebihi orang dengan banyak juru bicara. Bukankah berarti fisik yang sempurna ini hanya ilusi? Masih pantaskah disebut kesempurnaan jika tidak berguna? Berguna sih. Setidaknya untuk menyombongkan diri. Lantas akan menangis sejadi-jadinya, menuduh Tuhan tidak adil ketika semua ilusi itu diambil oleh pemberi.


Tahun lalu, ada seorang masuk bui karena dituduh menodai/menista agama. Heboh sekali berita ini. Seluruh negeri antusias. Entah sebagai pembela atau sebagai penuduh. Keduanya sama. Mereka akan membela orang yang mereka sukai sekalipun salah dan akan menuduh orang yang tidak mereka sukai sekalipun benar. Lalu melupakan permasalahan itu sendiri. Kalau dipikir pakai iman. Ya saya katakan iman, karena rasional tidak mampu menjangkau Tuhan. Balik lagi, kalau dipikir pakai iman, adakah ukuran penistaan agama? Kalau memang ada saya kira semua orang di dunia ini patut merasakan hukuman yang menimpa terdakwa itu. Siapapun yang melarang ajaran agama adalah penistaan terhadap agama itu sendiri. Wajar kah kalau ada manusia yang tidak berdosa? Atau wajarkah ada manusia yang tidak pernah melakukan dosa satu kali saja dalam hidupnya? Memangnya siapa sih yang dinistakan? Agamanya atau pengikutnya yang sentimen? 

Lucunya, sewaktu pembacaan putusan saya mendengar alasan menggelitik hakim bahwa terdakwa telah membuat keributan/kegaduhan/semacamnya selama kasus mencuat. Woww..   gila. Jadi buat apa anda semua sidang berkali-kali membahas bahasa, dalil, teologi, mendatangkan saksi ahli, dan kegiatan itu semua kalau ujung-ujungnya karena kegaduhan? 

Saya kasian dengan orang-orang yang turun di jalan berhari-hari melakukan orasi. Ingin saya katakan pada mereka, bukan Tuhan yang kalian bela. Tapi orang-orang yang memanfaatkan nama Tuhan. Iman, sebagai satu-satunya alasan kalian bertahan hidup telah dirampas oleh orang-orang tersebut. Saya yakin Tuhan tidak kebal kritik sekalipun kita semua tahu Dia Maha Benar dan Maha Segalanya. Saya juga yakin Tuhan itu demokratis. Mempersilakan kita untuk menafsirkan apapun yang Dia firmankan. Misal Dia berfirman A, kita berhak kok berpendapat bahwa firmanNya juga bisa B. Seperti kata Cak Nun dalam salah satu diskusinya, "Tidak ada tafsir yang benar-benar tafsir". Yang maksudnya, semua orang berhak menafsirkan apapun dan jangan merasa tafsir kita paling benar.

Di kubu seberang yang berorasi, pemimpinnya juga bermasalah dengan kasus yang sama. Walaupun kasus yang menimpa dirinya lebih banyak dan bermacam-macam. Bahkan konyolnya beliau dilaporkan karena dianggap menghina agama lain dalam forum agamanya sendiri. Saya pusing deh. Analoginya gini ya, Merek A tentu akan mengatakan merek B jelek kalau di perusahaannya sendiri. Itu manusiawi. Sangat wajar. Tapi bagi kubu pendukung seberang dijadikan umpan serangan. Kapan selesainya masalah ini?

Jujur saya memang lebih tertarik dengan terdakwa yang masuk bui tersebut. Saya bukan pemilihnya, karena saya tidak berdomisili disana. Sekalipun saya berempati dengan beliau,tidak ada keuntungan politik bagi beliau. Sejak awal kasusnya muncul, aroma politik busuknya sangat kuat. Jelas sekali hanya akal-akalan para politikus lawannya. Yang na'asnya mereka bawa-bawa agama dan Tuhan untuk menjatuhkan seseorang. SESEORANG. Hanya karena satu orang yang dianggap berbahaya, mereka mengorbankan iman. Tragis. 

Kasus penodaan agama tersebut bahkan sampai menodai hak kemanusiaan. Muncul tempat ibadah yang terang-terangan menolak mengurusi jenazah. Tuhan.. Inikah manusia yang katanya makhluk paling sempurna? Tidak bisakah ayatMu kau revisi?  

Kasus diatas menjadi semacam pop culture. Seolah-olah menjadi awal budaya orang Indonesia yang tersinggung karena sebuah kritikan. Muncul kasus dengan tuduhan penodaan agama, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dll. Ada komika yang hampir disidang karena dituduh menodai agama. Ada budayawati dituduh menodai agama karena puisi. Ada konsumen yang mengkritik produk dituduh pencemaran nama baik. Ada jurnalis dituduh pencemaran nama baik dan ujaran kebencian karena mengkritik pemimpin. 

Mari kita bahas. Sejauh ini saya, kita semua, menyaksikan komika di atas panggung kerjaannya ya mengkritik. Apapun yang meresahkan dia. Semua orang yang bekerja di bidang kreatif saya rasa dapat berkembang karena kegelisahan yang dialaminya. Ambil contoh Raditya Dika. Semua bukunya adalah kegelisahan hidupnya dan hal-hal di sekitarnya. Kalau dia tidak gelisah, tidak akan mungkin bukunya terus bertambah. 

Kedua, budayawati itu adalah seniman. Sama saja dengan komika tadi berkarya karena ada kegelisahan dalam dirinya. Coba deh, kalian semua yang pernah bikin puisi. Jadi puisi kah kalau kalian gak memikirkan apa-apa? Terlepas dari isi puisinya, apapun itu yang dinilai negatif oleh banyak orang, puisi itu tidak bisa membenarkan satu penafsiran saja. Misal puisi Chairil Anwar, "Aku binatang jalang". Ada yang menafsirkan itu binatang sungguhan, ada yang menafsirkan manusia, ada yang menafsirkan ini itu. Padahal itu baru satu baris. lalu bagaimana dengan puisi budayawati tadi? Saya pribadi tidak merasa ada bentuk penghinaan dari puisi yang dibacakan beliau. Yang saya pahami beliau sedang gelisah atau takut kalau negara ini berubah jati dirinya dengan kemunculan orang-orang yang menentang ideologi bangsa. Perbandingan-perbandingan yang dituliskan hanya sebuah simbol. Semua orang semestinya berhak berpendapat, dan itu pendapat saya sebagai penikmat puisi. 

Ada lagi seorang konsumen yang mengkritik suatu produk. Dia seorang komika terkenal. Yang mengikuti beritanya pasti tahu. Dituduh dengan pasal pencemaran nama baik. Atau dalam hal ini nama brand. Huft.. Lelah ya. Saya cuma mau bilang, pantas  saja produknya tidak bisa sehebat produk saingannya, dikritik sedikit saja tidak terima. Beberapa tahun sebelumnya, ada  kasus seorang ibu yang dihukum beratur juta karena mengkritik pelayanan sebuah rumah sakit. Kemudian masa mengumpulkan koin untuk membela si ibu. Kali ini tidak ada aksi kumpul koin. 

Terakhir ada si jurnalis yang kena dua pasal yang saya sebutkan tadi karena mengkritik seorang pemimpin. Oh No. Seperti kerjanya partai oposisi, yang dituliskan jurnalis ini justru lebih bisa dipercaya. Argumen partai oposisi mungkin bisa dianggap sebuah perlawanan dari musuh. Tapi jurnalis ini adalah golongan yang netral. Tidak ada kepentigan apapun, dan yang namanya jurnalis setahu saya tidak asal berasumsi. Di suatu wawancara, jurnalis tersebut mengatakan bahwa tulisannya sudah dianalisis oleh beberapa ahli bahkan ada yang dari luar negeri. Hasilnya kredibel. Jadi tidak asal seperti komentar netizen di kolom komentar akun sosial media artis yang bisanya menyerang secara personal dan menduga-duga dengan analisis yang dangkal. Dangkal masih terlalu baik. Tidak ada analisis bahkan. 


Belakangan ini banyak kasus menjerat orang-orang yang hanya berniat menyampaikan pendapat. Banyak orang gampang sakit hati hanya karena dikomentari agamanya. Tapi tidak sakit hati ketika agamanya digadaikan untuk urusan bisnis/politik. Sedih. Belum lagi pihak berkuasa yang tidak peka bahwa telah membuat jalan untuk melancarkan niat orang-orang yang maunya kebal kritik. 

Saya bukan aktivis. Tidak memiliki keberanian sehebat mereka yang bertaruh nyawa untuk bersuara. Saya hanya bisa apatis. Diam, menyimak, sesekali menertawakan. Walaupun tertawa getir. Tapi saya tidak bisa berhenti berpikir. Berhenti merasa seolah saya tidak harus memikirkan semua. Saya juga berpikir ribuan kali untuk terjun menjadi penguasa. Yang dapat saya lakukan ya ini. Menulis di blog yang pembacanya tidak lebih banyak dari jari saya. Saya juga tidak tahu kalian membaca atau hanya sekedar membuka lalu mencari tulisan lain yang lebih menarik. Tidak ada yang saya tawarkan sewajarnya para blogger. Saya menggunakan media ini untuk menampung unek-unek, yang kalau otak saya tampung bisa mati muda saya. 

Ada ketakutan dalam diri saya, bagaimana kalau masa itu terulang lagi? masa dimana kita hanya menuruti kehendak penguasa. Masa dimana kita hanya punya raga tapi tidak punya nyawa. Jika sudah tidak bernyawa, adakah makna disana? Saya bersyukur tidak mengalami masa itu. Tapi saya sedang takut akan menyaksikan bangkitnya kembali masa itu. Tanggung jawab siapa? Salah siapa? Bukan pemimpin. Tapi kita semua. Yang masih merasa bagian dari bangsa ini. 

Mengapa kebebasan berpendapat ini sangat penting? Simpel saja. Bangsa ini berdiri karena pemuda-pemuda yang berani berpikir, berani mengkritik. Di usia mereka yang baru belasan berani mengkritik kekuasaan yang berusia ratusan. Lalu diamkah yang merubah? Atau kritikkah?

Kawan saya berkata, "kita ini bukan siapa-siapa yang dapat mempengaruhi keadaan". Saya menjawab,"Karena kita Si Bisu yang Tidak Tunarungu, dan Si Buta yang Tidak Tunanetra".












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayo Bicara Agama

Semua Orang Butuh Permisi