Rabies Bercerita

Saya punya cerita..




Kurang lebih setahun yang lalu, sekitar bulan agustus. Tepatnya waktu saya liburan kenaikan tingkat. Seperti biasanya kalau ada liburan panjang, berbulan-bulan pasti saya pulang kampung ke Borneo. Setelah setahun tidak bertemu orang tua kangen pasti lah yaa.. 

Borneo saya tepatnya di Desa Serambai Jaya, Kec. Mukok, Kab. Sanggau, Prov. Kalimantan Barat. Saya berdomisili di daerah transmigrasi. Sehingga saya sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang heterogen. Mulai dari agama, suku, budaya, warna kulit, bahasa, dan jenis-jenis umpatannya. Dahulu Soeharto mengadakan program transmigrasi, dan mengumpulkan kami dalam satu daerah pembangunan. Saya beragama Islam, dengan presentase muslim dan nasrani 50:50. Ada banyak suku di daerahku. Suku pribumi ada Dayak dan Melayu. Kemudian pendatang dengan suku Jawa dan Sunda yang terbanyak, Batak dan Bugis yang sangat sedikit. Bahasa, jangan ditanya. Kami akan berganti bahasa tiap berbicara dengan orang yang berbeda. Bahkan kakak saya menguasai lima bahasa. Jawa, Jawa Ngapak, Sunda, Dayak, dan Melayu. Itu sangat menguntungkan kami. Saya saja yang tidak begitu bisa bahasa Sunda, jauh lebih dimudahkan hidup di tanah Sunda dibandingkan teman saya yang tumbuh dari lingkungan homogen. Warna kulit? Kalau membahas ini, saya agak minder. Pasalnya di tanah Katulistiwa kami orang Jawa yang paling matang sawonya. Yang belum pernah ke Borneo banyak mengira kalau orang Dayak itu berkulit hitam. Itu konyol sekali. Hei, bahkan diperkirakan Suku Dayak itu masih keturunan Indochina. Seperti Vietnam, Filipina, Thailand, dan negara-negara sekitarnya. Kalau pun benar, saya tidak heran. Kulit orang Dayak itu putih, bersih. Teman saya yang Suku Dayak akan kemerahan kulitnya kalau kepanasan. Bahkan mereka tidak akan hitam sekalipun matahari di atas ubun-ubun. Kalau kalian percaya anugerah Katulistiwa adalah jatah matahari yang lebih banyak, maka kalian jangan kaget kalau saya bilang suhu udara di tanah kami bisa mencapai 38 derahat celcius. Ikan asin pun akan kehilangan asinnya kalau dijemur. Sedangkan orang Melayu, ya tentu putih apalagi Melayu Serawak. Orang China, ya tau lah. Orang Sunda, hemm. Ingat kisah Dayang Sumbi yang konon membuat anaknya jatuh cinta setengah mampus. Barangkali warisan kecantikan itu yang sampai sekarang masih dijaga oleh cucu cicitnya.

Oke, kembali lagi. Kehidupan yang begitu heterogen itu kami hidup tenang. Damai. Saya harap kalian tidak pernah mendengar konflik dari tanah kami. Saya pernah dengar dulu. Ya, lumayan sadis. Tapi, seterusnya tidak lagi. Karena memang kami tidak pernah mempermasalahkan apa-apa. Bukan tidak ada yang religius, tapi saya sudah terbiasa melihat pemandangan ayam dan anjing bermain bersama. Sapi dan babi dalam gembalaan yang sama. 

Sampai akhirnya, hari itu datang. Saya benci keresahan. Semua orang resah. Padahal saya sedang rindu-rindunya kampung. Tapi kepulangan yang hanya bisa setahun sekali harus dihiasi dengan keresahan hampir semua wajah. Bukan perbedaan kami yang terlalu berbeda. Bahkan itu sudah bagian dari kehidupan kami. Anjng rabies.

Dikisahkan, ada orang yang tiba-tiba sakit keras lalu meninggal setelah beberapa hari sebelumnya digigit anjing. Dari satu, kemudian dua, kemudian tiga, dan terus menyebar. Bahkan kalau ada yang tidak digigit anjing pun orang-orang akan mengira karena anjing. Bahkan sampai sekeluarga habis. Bagaimana tidak, ceritanya anjingnya istri, lalu suami marah dan membunuh anjing, lalu anjing dimakan sekeluarga. Entah nyata atau tidak, semua terasa nyata.

Ada simpang siur yang mengatakan, ada seorang misterius yang menurunkan anjing dari dalam mobil box di daerah Sintang. Diduga anjing yang diturunkan adalah anjing rabies yang menyebarkan penyakit itu ke anjing-anjing lain. 

Geram, marah, kecewa, sayang, benci, semua bercampur. Anjing seperti sudah bagian dari keluarga bagi sebagian orang. Tapi anggota keluarga itu membahayakan anggota yang lain. Bahkan orang lain. Tidakkah alasan itu cukup untuk memusnahkan? Biasanya selalu ada anjing yang berkeliaran di jalan, di depan rumah, di lapangan, dimanapun. Hari itu tiba juga, tidak ada anjing. Ini bukan lagi masalah kasihan. Sekalipun anjing itu sehat, siapa yang bisa menjamin kalau bebas dari rabies? bahkan anjing yang rabies itu diam. Tidak menggogong. Tidak jauh berbeda dengan anjing yang sehat. Lalu tiba-tiba resah, dan dengan kecepatan tinggi berlari, menggigit siapapun semaunya. Yang tadinya menolak anjingnya dimatikan, pasrah juga ketika nyawanya terancam. 

Cerita tidak hanya berhenti di anjing. Memang setahu saya rabies itu hanya milik anjing. Tapi tidak. semua hewan yang berbulu, katanya, punya hak waris atas rabies. Ini lebih menyeramkan. Yang memelihara kucing tadinya santai karena hewannya tidak ikut andil sama sekali, ternyata salah. Bahkan para pimpinan masyarakat mulai mendatangi rumah mereka yang memiliki kucing, kera, dan apapun yang berpeluang mengidap rabies. Tidak peduli kucing lokal atau mancanegara. Tidak sedikit yang bertahan, tapi tidak sedikit yang memilih melepas kucingnya sendiri ke hutan. Lebih baik melepas sendiri daripada harus menyerahkannya pada orang-orang yang menembak. Setidaknya kucing itu akan hidup sedikit lebih lama kalau di hutan. 

Kakakku, yang terbiasa bekerja di kebun kelapa sawit, heran hari itu karena melihat dua ekor kucing di tengah hutan. Kucing yang satu sudah tidak mampu jalan. Yang satunya lagi masih mampu, tapi kurus kering. Ia membawa yang masih cukup sehat ke parit. Menunjukan jalan untuk mencari air minum. Rumah yang yang di dekat hutan cemas. Dia tidak niat memelihara kucing tapi banyak kucing menyerbu rumahnya. 

Tidak ada cerita dengan kera. Sedikit sekali yang memelihara hewan ini. Kalau pun ada, jangan khawatir. Pasti menyedihkan. 

Belum selesai. Gesekan hampir muncul. Untung saja tidak terjadi. Kalau kucing dan kera kena rabies. Tidak menutup kemungkinan kalau sapi, kambing, babi pun kena. Mungkin saja, fakta ilmiahnya tidak ada. Tapi pikiran yang terkungkung dalam otak ini punya mobilitas tinggi. Bisa merambah kemana pun yang diinginkannya. Aku sangat bersyukur hal itu tidak terjadi. Semoga tidak terjadi lagi.

Saya tidak bisa menilai. Karena ini bukan pengadilan. Saya kasihan dengan hewan-hewan itu. Mereka juga masih punya perasaan saya kira. Tapi tidak mungkin melarang mereka yang ingin mempertahankan hidup. Semoga hewan itu masuk surga tanpa melewati neraka. Itu saja.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayo Bicara Agama

Semua Orang Butuh Permisi

Si Bisu yang Tidak Tunarungu dan Si Buta yang Tidak Tunanetra