Nasi Untuk Siapa Saja

Jaman dulu, masa setelah kemerdekaan nasi beras masih menjadi makanan berharga kecuali bagi orang yang hartanya melimpah atau keturunan ningrat. Begitu kalau ibuku bercerita tentang masa kecilnya. Beliau lahir dan dibesarkan di Madiun.
Nasi  atau sego  (bahasa Jawa) adalah makanan pokok orang Indonesia. Kalau jaman sekarang kita menyebut nasi sudah jelas nasi dari beras. Kalau jaman ibuku dulu sekitar tahun 80an, kalau kita menyebut sego banyak macamnya. Bisa terbuat dari singkong, jagung, atau beras. Sego yang dikonsumsi dapat menunjukan strata sosial seseorang. Ibuku masuk strata bawah karena yang dikonsumsi sego gaplek(terbuat dari singkong)Hanya makan sego beras kalau ada kenduri. Dari rumah orang yang makannya sego beras. Kalau hari-hari biasa saja makannya sego gaplek, kenduri ya sulit mau masak sego beras. Karena beras sangat sensitif pada masanya. Seperti batik yang pada masanya hanya boleh dikenakan saat di keraton. Jadi, tidak sembarang orang bisa mengkonsumsi beras. Tapi jangan salah sangka. Nasi gaplek atau tiwul itu enak luar biasa lho. Apalagi lauknya gereh dan kulupan. Ditemani semilir angin sawah yang owos-owos. haduuh.. maaf saya jadi gak konsen karena tiba-tiba lapar. Ternyata pikiran manusia mampu mengubah rasa makanan yaa.
Sangat berbeda dengan masa sekarang. Masa hidupnya kids jaman now. Hehe. Siapapun berhak makan beras. Strata sosial dikaburkan. Sedikit lebih baik karena setidaknya kita tidak memandang sesorang hanya dari makanan apa yang dikonsumsinya. 
Sebelumnya saya juga berpikir begitu. Jaman sekarang lho saat diabetes sudah menyerang bangsa ini (yang mengindikasikan bahwa konsumsi beras meningkat). Tentunya sangat mudah dan murah mendapatkan beras. Tanpa saya sadari bahwa banyak keironisan di negeri ini. Banyak yang sudah kaya sekali belum tentu tidak ada yang melarat sekali. Saya lahir dan dibesarkan di tanah Borneo. Bahkan sebelum saya menginjak tanah Jawa belum pernah melihat pengamen. Ternyata di Bogor pengamen sampai pengemis membludak di jalanan. Saling adu kesesengsaraan. Tidak peduli usia. Yang masih mampu bekerja sampai yang tidak. Yang sehat sampai yang cacat. Yang asli  melarat sampai konglomerat. Tidak ada bedanya. Semua menyedihkan. Semakin lama sengsaranya gelandangan tidak laku lagi. Orang kota sudah muak melihat kesedihan mereka sedangkan banyak kebahagiaan yang harus diraih ketimbang memenuhi hasrat kasihan yang tak berkesudahan.Yang awalnya saya kasihan sampai ingin menangis, jadi benci karena mereka begitu lemah menghadapi dunia yang kejam ini. Bukan sok idealis. Untuk orang yang tangguh saja dunia masih mengerdilkan, apalagi yang sudah kerdil. Akan jadi apa? 
Kesal memang setelah tahu ternyata pengemis naas itu punya usaha meubel di desa, istrinya 2 bahkan 3, rumahnya seharga bisa ratusan juta. Entah kesal karena dibohongi atau kesal karena lebih kaya pengemisnya dari penyantunnya. Akibatnya, semua pengemis dianggap sama. Semelas apapun ekspresinya. Tak ada lagi kasihan atau iba. Mereka tak lebih dari aktor yang sedang berteater.
Semakin banyak orang melarat di kota ini seiring banyaknya orang bermobil mewah yang kerjaannya hanya klakson di jalur sepeda. Dunia kejam kan? Banyak kutemui laki-laki gagah berjualan kanebo, serbet, celemek, sampai peniti menyembah pada wanita yang berdandan menor. Aku menebak, makan apa anaknya hari ini kalau penitinya hanya laku 2? 2 peniti tak lebih dari 5000 rupiah. Kalau saja peniti itu barangnya, kalau hanya sebagai resseler? Sudahlah.
kalau anda jalan-jalan pagi sedikit jauh saja dari rumah, akan kalian temui para lansia yang mengorek-ngorek sampah sampai ditemukannya pembalut yang darahnya menggumpal. Atau bangkai manusia barangkali. Sampah itu menjijikan, tapi tidak sedikit yang menggantungkan makan. Ya Tuhanku..
Mereka berhak ditolong. Berhak makan sego. Tapi kenapa jaman itu kembali lagi? Dalam bentuk yang lebih mengerikan. Semua orang sudah tidak peduli dengan perut masing-masing. Sekalipun lansia yang harusnya bahagia menjelang penutupan usia. 
Pernah suatu sore menjelang maghrib saat saya joging keliling Kebun Raya Bogor, ada seorang bapak. Ringkih badannya. Tapi lahap makannya. Sekalipun tak kutemukan air minum. Tak perlu aku memikirkan sudah berapa hari dia belum makan, sehari ini saja sudah cukup membuatnya selahap itu. Jangan bayangkan kalau dia sedang makan burger pertama kali. Cukup jelas terlihat walau hari  mulai menggelap, tak lebih dari nasi berkuah santan dan telur bulat yang sudah tergigit separuh. Lahap sekali, beruntungnya dia makan selahap itu. Karena banyak orang tak menyentuh makanannya di restoran mahal sekalipun. Kita harus sama-sama menyetujui, makan bukan perkara enak atau tidak enak. Makanlah karena perjalanan kita masih jauh. Dan ingat sekali lagi, dunia ini kejam.
Harus saya katakan, Tuhan begitu baik pada saya dan semua hambaNya. Saat kuceritakan soreku yang miris, apa yang dikatakan temanku? "Ayo Er, bikin projek. Tiap selasa, kita kan libur. Kita sebarin 10 bungkus nasi buat pemulung sama gelandangan gitu". Beruntungnya lagi, itu hari senin. langsung besok kami meluncur. Mengapa? manusia itu cenderung menunda dan lupa, terutama yang tidak menguntungkan diri sendiri. Dan mati-matian membela kalau menguntungkan diri sendiri. Dengan uang hanya 70.000 rupiah hasil patungan kami sambar warteg paling harga mahasiswa. Kami mendapat 10 bungkus nasi dengan lauk telor kecap dan tumis kentang. Sekalian dengan air minum. 
Ada satu hal yang baru saya mengerti. Selain penunda, pelupa, manusia juga penakut yang luar biasa. Nasi sudah ditangan, dan hanya tinggal membagikan tapi berulang kali kamu berdebat soal siapa yang memberikan. Dan aku sering menolak dengan alasan malu. Malu diperhatikan orang, nanti dikira sok baiklah sok idealis lah. Takut kalau ternyata gelandangannya orang gila, lalu dia akan menerkam. Ahh.. segala kebodohan yang dibudidayakan. 
Penerima pertama, seorang pemulung lumayan tua, Laki-laki usia 60an.
"Punten Bapak sudah makan? Ini ada nasi pak." begitulah temanku memulai. "iya iya neng terimakasih ya". Bahagia sekali dia mendapat nasi yang tidak seberapa banyak itu. Hasilnya tidak ada yang menyindir kami. Melihat pun tidak.
Penerima kedua, seorang pemulung, bapak usia 40an, kumuh, dan agak gila kurasa, karena dia tidak sewajarnya pemulung yang biasa aku temui.
Melihat saya membawa nasi bungkus, meskipun masih duduk di motor, dia menoleh. Langsung kuberikan tanpa bicara dan tetap nangkring di motor. "Nuhun nya", begitu yang kudengar berkali-kali bahkan saat dia sudah berlalu. Memalukan. Saya pernah membaca buku, berjudul Letter from Turkey, maaf saya lupa penulisnya. Dia mengatakan, pengemis juga manusia yang harus dihormati. Jangan mentang-mentang punya uang lalu bersedekah tanpa menghormati yang diberi. Intinya seperti itu. Dan nyatanya itu yang terngiang saat memberi tanpa menyetarakan posisi. Menunduklah, anda sedang memberi bukan menghina. 
Penerima ketiga, anak kecil di lampu merah sedang berjualan tisue. 
pasti sering kalian temui. Saya pernah bertemu mereka dalam keadaan bersama orangtua yang penampilannya jauh lebih baik. Mulai berpikir, kalau mereka hanya korban dari keserakahan orangtuanya. Tapi maaf, untuk sekarang saya harus mengesampingkan berbagai kemungkinan. Entah mereka anak orang mampu atau tidak, nasi untuk siapa saja. Dia menerima dengan wajah melasnya. 
Penerima ke empat, tukang becak, sudah tua, laki-laki usia 60an.
Pernahkah kalian membaca berita seorang tukang becak meninggal karena belum makan seharian? Ironis. Siapa yang masih mau pakai becak kalau ngojek saja bisa dengan 5000 rupiah? Dijemput  di rumah pula. Saya sudah lelah membayangkan berapa penumpang yang mereka dapat seharinya.
Penerima kelima, anak kecil sedang tiduran di belakang halte depan Botani Square.
Sering aku lihatanak kecil tanpa baju tiduran di emperan. seolah mengabaikan masuk angin atau demam yang sering melanda anak-anak kalau kedinginan. Tak ada komunikasi, hanya kuletakkan di sisa bangku yang sudah dipenuhi badan mungilnya. Semoga setelah bangun, dia sadar, atau orang di sebelahnya memberitahu.
Penerima ke enam, pemulung tua, usia 70an. 
Aku kira temanku akan lurus ke arah tol Jagorawi. Di pertigaan depan dia berbelok. "Kok kesini?" tanyaku."Di dekat perkumpulan orang kaya, pasti banyak orang-orang miskin". Percayalah sekali lagi, orang kaya tidak akan bisa hidup tanpa orang miskin. Karena kaya hanya ilusi perbandingan jumlah.  
Penerima ke tujuh, seorang renta, usia 80an barangkali.
Bayangkan seorang tukang parkin yang hanya duduk. Tubuhnya membungkuk. Hanya berteriak pada mobil untuk mengarahkan parkir mobil. Lagi dan lagi, kami berebut siapa yang akan memberi. Aku menolak karena malu. Iya malu. Di depan puskesmas itu banyak orang. "Lu deh yang kasih. Latihan biar berani", gertak temanku. "Minggi neng, jangan di tempat parkir mobil", kakek itu datang. Dan kami masih berdebat. Sampai akhirnya temanku menyerah. "Gak ada semenit lho padahal". Bahagia kakek itu. Cepat pulang ya Kek, jangan terlalu lelah.
Penerima ke delapan, pemulung laki-laki usia 50an.
Satu hal yang paling membahagiakan saat memberi, adalah senyum mereka. Harus saya katakan, saya belum sarapan. Uang jajan sedang mepet. Bahkan uang nasi bungkus itu adalah hutang. Kebaikan harus disegerakan setelah diniatkan. Sudah tidak lagi berpikir pahala atau dosa, ini tentang kebaikan. Bukan upahnya. Kalau bicara upah, sebenarnya Tuhan telah memberikan upah tanpa kau bekerja.  Senyum bapak itu, masih kuingat. Entah akan dimakan sendiri atau istrinya atau anaknya, itu rejekimu Pak.
Penerima ke sembilan, pemulung laki-laki usia  50an, duduk beralas plastik plastik di halte.
Bapak itu seperti akan menangis. Apa jadinya kalau dia Bapakku? Lelaki yang gagah dan kukagumi menangis di hadapan orang yang dikenalnya karena sebungkus nasi. Aku harap dia bisa menambah bungkus nasi lagi untuk anaknya.
Penerima terakhir, kakek, pengemis dengan tongkatnya, duduk di pojokan jalan masuk sebuah resto. Kuhampiri dia yang tersudut oleh nasib,"Maaf Kakek, ini saya ada rejeki sedikit. Tolong diterima ya..". Sekalipun ekspresinya datar, aku sungguh yakin dia sedang bahagia. Terdengar samar, "Terimakasih".
Kuhampiri temanku,"mission complete", katanya.

Semoga selasa depan, depannya lagi, bahkan hari selain selasa akan semakin banyak yang menerima nasi bungkus.. Nasi itu untuk siapa saja bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayo Bicara Agama

Mengganti Receh dengan Nasi Bungkus

Kangkung juga bisa Hits